Thursday, December 3, 2009

HIJRAH DAN KHILAFAH

Beberapa hari lagi kita kembali memasuki awal Tahun Baru Hijrah, yakni Tahun 1424 H. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini pun tak ada yang istimewa dari adanya pergantian tahun Hijrah; kecuali bahwa bagi umat Islam, Tahun Baru Hijrah kali ini sebetulnya merupakan tahun yang penuh dengan ironi. Mengapa?
Di satu sisi, Tahun Baru Hijrah sudah seharusnya diperingati dengan penuh sukacita dan kegembiraan. Sebab, penetapan Tahun Hijrah, sebagaimana kita ketahui, didasarkan pada momentum hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah. Hijrah Rasulullah saw. sendiri sesungguhnya meneguhkan dirinya sebagai:

Pertama, pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara dâr al-Islâm dan dâr al-kufr. Paling tidak, demikianlah kata-kata ‘Umar bin al-Khaththab ketika ia menyatakan, “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itu, mulailah penanggalan dari hijrahnya Rasulullah.” (HR Ibn Hajar).

Kedua, tonggak berdirinya Daulah Islamiyah (negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah pasca Hijrah Nabi saw. telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur yang-menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah-terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.

Ketiga, awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang kafir Makkah. Pasca Hijrahlah Islam bangkit dan berkembang pesat hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab dan mampu menembus berbagai pelosok dunia. Sebaliknya, di sisi lain, Tahun Baru Hijrah kali ini bertepatan dengan bulan Maret. Bulan Maret sendiri adalah bulan yang di dalamnya terdapat tragedi politik yang sangat memilukan umat Islam, yakni dihancurkannya secara resmi (tepatnya 3 Maret 1924) institusi Kekhilafahan Islam-yang selama lebih dari 13 abad melayani, melindungi, dan mengayomi umat Islam-oleh Kemal Attaturk, seorang Yahudi tulen, yang berkolaborasi dengan Inggris sang imperialis. Padahal, Kekhilafahan Islam, sejak Khulafa’ ar-Rasyidin (yakni sejak meninggalnya Rasulullah saw.) hingga Kekhilafahan Turki Utsmani yang terakhir merupakan kelanjutan dari Daulah Islamiyah (negara Islam) yang justru pembentukannya dirintis oleh Rasulullah saw. untuk pertama kalinya sekitar 14 abad yang lalu, yakni pasca hijrah Nabi saw. Nabi saw. beserta para sahabat selama belasan tahun, yang telah menguras tenaga, pikiran, strategi, dan taktik; bahkan sering mengorbankan harta dan mempertaruhkan jiwa dalam upaya membangun Daulah Islamiyah. Upaya tersebut terus dilakukan dengan memperkuat bangunan Daulah, melebarkan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, dan mempertahankannya dari serangan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.

Setelah Rasulullah saw. wafat, kepemimpinan negara kemudian beralih kepada Abu Bakar r.a. Sejak saat itulah era Kekhilafahan Islam dimulai. Selama itu pula Daulah Khilafah Islamiyah selama berabad-abad-sebelum akhirnya secara tragis diruntuhkan, yakni pada periode Kekhilafahan Islam Turki Utsmani-menjadi satu-satunya institusi negara dan politik bagi seluruh kaum Muslim yang menerapkan seluruh sistem hukum Islam. Daulah Khilafah Islamiyah juga selama berabad-abad menjadi institusi yang paling efektif menjalankan dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia sekaligus menghancurkan berbagai penghalang fisik/militer dari pihak musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.

Pada institusi Daulah Khilafah Islamiyahlah kaum Muslim bersandar serta mengadukan berbagai tindakan kezaliman yang mereka alami serta berbagai kesengsaraan hidup. Daulah Khilafah Islamiyah pun merupakan tempat mereka berlindung dari rasa takut akan ancaman, pengejaran, penahanan, dan pembantaian yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Benarlah kiranya sabda Rasulullah saw:
Sesungguhnya seorang imam (khalifah) itu adalah laksana perisai; orang-orang akan berperang dibelakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung. (HR Muslim).
Lebih dari itu, yang tak kalah ironisnya, setiap kali Tahun Hijrah-yang merupakan simbol kebangkitan Islam dan kaum Muslim-berganti, setiap kali pula nasib umat Islam semakin terpuruk. Setiap saat mereka tak henti-hentinya dihadapkan pada sejumlah persoalan dan krisis yang terus menumpuk tanpa ada penyelesaian yang berarti. Sistem hukum Islam dikebiri; identitas Islam dipasung; dan kaum Muslim sendiri ditindas. Yang paling mutakhir, selain krisis ekonomi yang semakin akut, umat Islam didera oleh krisis politik berupa tekanan yang bertubi-tubi dari pihak Barat imperialis, khususnya Amerika, di balik apa yang disebut sebagai “Perang Melawan Terorisme”. Berbagai krisis tersebut sebetulnya bermuara pada krisis institusi negara, yakni tidak adanya negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) selama kurang-lebih 79 tahun sebagaimana sebelumnya.

Tanpa sebuah Daulah Khilafah Islamiyah, umat Islam menderita kesengsaraan yang luar biasa. Mereka menjadi terpecah-belah; hidup di sejumlah negara yang lemah; serta terpasung oleh batas-batas geografis dan nation (kebangsaan), yang justru direkayasa oleh penjajah Barat. Akibatnya, jangankan bersatu menghadapi penjajah, umat Islam sendiri saling bertikai satu sama lain atas dasar kepentingan nasional masing-masing. Perang Irak-Iran berlangsung bertahun-tahun. Negara-negara Arab di Timur Tengah dengan rela menyediakan fasilitas pangkalan militer AS yang justru digunakan untuk menyerang negeri-negeri Muslim seperti Afganistan dan Irak.

Tanpa Daulah Khilafah Islamiyah pula hukum-hukum Allah-terutama dalam masalah sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan-menjadi terlantar. Padahal, setiap penelantaran terhadap hukum Allah terbukti telah menyengsarakan kaum Muslim. Kenyataan itu telah tampak jelas di tengah-tengah kita sekarang ini. Secara politik mereka tunduk di bawah permainan politik negara-negara Barat penjajah. Secara ekonomi sebagian besar negeri-negeri Islam termasuk ke dalam kategori negara-negara berkembang dan miskin. Sebab, kekayaan alam mereka dibiarkan diekploitasi untuk kepentingan penjajah Barat. Pada saat yang sama, banyak negeri Islam yang kaya, seperti Indonesia, dijerat utang luar negeri yang sengaja dipasang oleh IMF dan Bank Dunia. Akibatnya, mereka tak berkutik di hadapan kepentingan kapitalisme Barat.
Sementara itu, di bidang pemerintahan, hampir sebagian besar negeri-negeri Islam mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi yang kufur.

Padahal, demokrasilah sesungguhnya yang menjadi pemicu utama terjadinya berbagai konflik antar sesama kaum Muslim, khususnya antara rakyat dan penguasa mereka. Di bidang pendidikan negeri-negeri Islam dipaksa menyelenggarakan pendidikan sekular yang kemudian mencetak generasi-generasi Islam yang bukan saja jauh dari akar Islam, tetapi malah membenci Islam. Mereka menjadi generasi yang lebih menyakini ide-ide penjajah Barat dibandingkan dengan ide-ide yang berasal dari Islam.
Semua hal di atas tentu saja menjadi ironis sekaligus merupakan tragedi bagi kaum Muslim di tengah-tengah pergantian Tahun Hijrah-sebagai simbol kebangkitan Islam dan kaum Muslim-yang berlangsung setiap tahun.

Namun demikian, ketiadaan Daulah Khilafah Islamiyah sesungguhnya bukan hanya mengakibatkan penderitaan umat Islam, tetapi juga melahirkan nestapa bagi seluruh umat manusia di dunia. Saat tidak dipimpin oleh Islam, tetapi dipimpin oleh Barat yang kapitalis, dunia mengalami penderitaan yang luar biasa dalam berbagai bidang. Berbagai krisis global terjadi saat ini, mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, kebodohan sampai pada konflik dan ancaman.
Mengapa Kita Perlu Khilafah?

Banyak sekali argumentasi rasional (baik secara politis, historis, maupun sosial) yang dapat diajukan. Akan tetapi, kami tidak ingin mengajak para pembaca diarahkan pada visi keharusan kaum Muslim menegakkan negara (Khilafah Islamiyah) berdasarkan pandangan akal manusia, respon masyarakat, maupun pernyataan-pernyataan ulama maupun intelektual (baik yang positif maupun negatif). Sebab, hal itu bukanlah dalil syar‘î, dan tidak layak menjadi pertimbangan sedikit pun bagi kaum Muslim dalam aspek hukum dan keterikatan terhadap syariat islam.

Cukuplah kiranya hujjah itu berdasarkan hujjah Allah (al-Quran), Rasul-Nya (as-Sunnah) maupun Ijma Sahabat-yang meniscayakan kewajiban untuk menegakkan institusi negara yang berfungsi untuk menerapkan hukum-hukum Allah dan menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalil-dalil yang dimaksud adalah:

Pertama, firman Allah, antara lain adalah ayat berikut:
Hendaklah kamu menghukumi mereka berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS al-Maidah [5]: 49).
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang Allah turunkan, mereka adalah orang-orang kafir. (QS al-Maidah [5]: 44).
Pada faktanya hukum-hukum Allah, bahkan hukum-hukum buatan manusia sekalipun, tidak pernah bisa dijalankan tanpa adanya institusi (yaitu berbentuk negara) yang melaksanakan. Apakah mungkin hukum-hukum sekular bisa ditegakkan tanpa ada institusi (negara) sekular yang melaksanakannya? Jelas tidak mungkin. Begitu pula hukum-hukum Islam tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa adanya institusi (negara Islam), yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang melaksanakannya.

Kedua, hadis Rasulullah saw., antara lain adalah sabdanya berikut:
Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat (ketaatan kepada seorang khalifah), maka matinya bagaikan mati Jahiliah (dengan menanggung dosa besar-pen). (HR Muslim).
“Kelak akan ada para khalifah yang banyak jumlahnya.” Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Rasulullah menjawab, “Penuhilah baiat pertama; hanya yang pertama saja.” (HR. Muslim).
Dalam hadis lain Rasul bersabda
Apabila terjadi baiat atas dua orang khalifah, bunuhlah orang yang terakhir dibaiat dari keduanya.(HR. Muslim).
Hadis-hadis sahih yang berkenaan dengan baiat di atas secara pasti dan jelas mengandung perintah yang tegas, yakni kewajiban untuk mewujudkan pihak yang akan dibaiat oleh kaum Muslim, yakni seorang Khalifah (imam), yang tidak lain adalah kepala negara kaum Muslim. Artinya, kaum Muslim jelas diwajibkan untuk mewujudkan negara Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Sebab, tidak mungkin ada khalifah/imam/kepala negara tanpa ada negara yang dipimpinnya.

Ketiga, Ijma Sahabat, antara lain ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Rasulullah saw. mengenai wajibnya mengangkat pengganti (Khalifah) beliau setelah beliau wafat. Tindakan para sahabat yang menunda pengurusan jenazah Rasulullah saw.-yang tidak diingkari kewajibannya oleh mereka sendiri-dan malah sibuk di Saqifah Bani Sa‘idah untuk mengurusi pemilihan Khalifah, menunjukkan betapa wajib dan urgennya mewujudkan Kekhilafahan Islam bagi kaum Muslim. Kalaupun sempat terjadi perselisihan di kalangan mereka, hal itu tidak berkaitan dengan wajib-tidaknya pengganti (Khalifah) Rasulullah saw., tetapi berkaitan dengan siapa yang pantas menjadi Khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Realitas sejarah ini jelas tidak mungkin dipungkiri oleh mereka yang cerdas dan jujur.

Dalil-dalil di atas, meski hanya sebagian, telah cukup menjadi bukti mengenai wajib dan perlunya umat Islam menegakkan kembali Kekhilafahan Islam.
Tahun Baru Hijrah Sebagai Momentum
Tahun Baru Hijrah tampaknya bisa dijadikan momentum yang tepat bagi umat Islam untuk melakukan instrospeksi (muhâsabah), setidaknya dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Apakah dari tahun ke tahun kondisi umat Islam semakin baik?

2. Sudahkah umat Islam mampu mengalahkan dan membinasakan kekufuran yang dipimpin oleh Amerika dan negara-negara Barat saat ini?

3. Sudahkah kita berusaha menunaikan kewajiban untuk mewujudkan kembali institusi Kekhilafahan Islam sekaligus membaiat seorang Khalifah bagi seluruh kaum Muslim?

4. Sudahkah seluruh hukum-hukum Allah diterapkan di tengah-tengah umat Islam?
Jika jawabannya, “Tidak,” jelas pergantian demi pergantian Tahun Hijrah tidak akan banyak berarti bagi umat Islam. Pergantian demi pergantian Tahun Hijrah bahkan mungkin hanya akan menjadi saksi dari keterpurukan demi keterpurukan umat Islam yang semakin dalam. Jika itu yang terjadi, kita betul-betul tidak memahami firman Allah:
Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul, dan orang-orang Mukmin. (QS al-Munafiqun [63]: 8).
Allâhumma a‘iz al-Islâm wa al-Muslimîn!

No comments:

Post a Comment